Sabtu, 12 Oktober 2013

WARTEG Termasuk Pembangunan Ekonomi di Sektor Informal



“ Secuil & Sesederhana WARTEG Juga Termasuk Pembangunan Ekonomi di Sektor Informal ”

Kata Warteg akan mengingatkan masyarakat Indonesia kepada Warung Tegal yang mudah ditemui, sederhana, harganya murah, enak rasanya dan bergizi. Sebenarnya yang menjadi fokus identitas forum ini ialah kata warung yang menggambarkan: Bisa dikunjungi oleh berbagai kalangan dengan berbagai kemampuan. Mudah dijangkau dan tidak terikat banyak peradatan, bisa makan/minum sambil mengobrol, tidak terikat waktu datang dan waktu pergi. Pengunjung dengan mudah bisa saling berinteraksi ngobrol tentang kehidupan aktual kesehariannya, dari keluarga, desa, negara sampai dunia akhirat, dengan siapapun yang sedang berada di warung. Warteg juga merupakan salah satu pembangunan di sektor informal. 


Jenis-jenis Sektor Informal menurut Keith Hart, ada dua macam sektor informal dilihat dari kesempatan memperoleh penghasilan, yaitu:

1. Sah; terdiri atas:

a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder-pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain.

b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar-perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain.

c. Distribusi kecil-kecilan-pedagang kaki lima, pedagang pasar, warteg, pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain.

d. Transaksi pribadi-pinjam-meminjam, pengemis.

e. Jasa yang lain-pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan lain-lain.

2. Tidak sah; terdiri atas :

a. Jasa-kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya: penadah barang-barang curian, lintah darat, perdagangan obat bius, penyelundupan, pelacuran, dan lain-lain.

b.Transaksi-pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar (perampokan bersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain-lain.


Beberapa jenis “pekerjaan” yang termasuk di dalam sektor informal, salah satunya adalah warteg, warung nasi, penjual rokok, penjual Koran dan majalah, penjual makanan kecil dan minuman, dan lain-lainnya. Mereka dapat dijumpai di pinggir-pinggir jalan di pusat-pusat kota yang ramai akan pengunjung. Mereka menyediakan barang-barang kebutuhan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah dengan harga yang dijangkau oleh golongan tersebut. Tetapi, tidak jarang mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas juga ikut menyerbu sektor informal.


Dengan demikian, sektor informal memiliki peranan penting dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan, karena sektor informal mampu menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup signifikan sehingga mengurangi problem pengangguran diperkotaan dan meningkatkan penghasilan kaum miskin diperkotaan. Selain itu, sektor informal memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintahan kota.


Warung Tegal pada awalnya banyak dikelola oleh masyarakat dari tiga desa di Tegal yaitu Warga desa Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon, Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal. Tetapi saat ini warteg sudah menyebar sampai ke Cabawan, Margadana. Mereka mengelola Warteg secara bergiliran (antar Keluarga dalam Satu Ikatan Famili) terkait masih berlangsung 3 s / d 4 Bulan. Yang mendapat giliran tidak mengelola warung biasanya bertani di kampung halamannya. Bisnis makanan memang tak akan mati karena makan adalah kebutuhan pokok manusia.


Warteg warung nasi yang lahir dari tangan para perantau asal Tegal memang telah melebur dengan masyarakat Jakarta. Kesan warteg memang terlihat jelas disini. Lauk - pauk disajikan diatas wadah stainless steel di balik etalase, sehingga pengunjung bisa memilih langsung makanan yang diinginkan. Beragam jenis makanan dan murahnya harga tentu menjadi daya tarik Warteg. Orang yang makan di Warteg tidak mencari pendingin udara, bangku yang empuk, dan interior yang didesain khusus.


Mereka nyaman makan berdesak-desakan dengan orang tak dikenal di atas bangku kayu panjang. Mereka juga tidak keberatan, setelah selesai makan, hanya punya waktu beberapa menit untuk menurunkan makanan sebelum wajah-wajah kelaparan mengusir mereka.

Warung makan kalangan bawah. Kesan itu biasanya muncul dibenak kita manakala mendengar nama Warteg. Namun, Warteg menyajikan menu murah, warung makan yang satu ini dipastikan layak untuk semua kalangan dan berkelas. 


Ada kurang lebih dari 30 menu makanan yang disajikan sperti warteg-warteg pada umunya seperti : ayam goreng, ayam kecap, ayam opor, ayam pedas, soto ayam, soto babat, daging rendang, telor rendang, telor sambel, orek tempe, semur jengkol, pete, rawon, macam – macam ikan goreng, udang, sayur sop, sayur sawi, sayur daun singkong, sayur labuh, sayur asem, ikan sambel, soto betawi, cumi, perkedel, kulit semur, sayur tahu, krecek, tongseng, capcai, tumis kangkung, dan masih banyak lagi. Meski modern, harga makanan di Warteg tetap murah.


Warung yang menyediakan makanan rumah sederhana dengan jumlah yang banyak tetapi harga tetap terjangkau ini cocok dengan kebutuhan para kuli bangunan. Begitu pula supir-supir, tukang becak hingga pedagang minyak tanah keliling perlu menambah tenaga dengan makan di Warteg.

Seiring berjalannya waktu, Warteg tidak hanya disambangi oleh kalangan ekonomi sulit. Kalangan dari seluruh strata sosial sudi makan di Warteg. Bule pun kerap terlihat makan di warteg. Bahkan, warteg menjadi ”penopang perut” amat penting bagi kelas menengah pekerja kantoran di daerah tertentu misalnya Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang butuh makan siang sehari-hari.


Pemilik Warteg Adinda yang kebetulan orang desa Sidakaton Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal, beliau bernama Bapak Sanuri dan Ibu Inahyati memiliki usaha Wartegnya di daerah perempatan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, nama Warteg Adinda diperoleh dari nama anak ketiga mereka. Warteg Adinda Buka mulai pukul 06.00 WIB untuk melayani para pekerja kantor untuk sarapan, ngopi, dan lain-lain. Dan nutup pukul 22.00 WIB.


Setiap hari Ibu Inahyati harus memasak 20 kilogram beras. Pada bulan Ramadhan, jumlah beras yang dimasak juga tetap sama. Setiap hari Beliau belanja keperluan warteg sampai Rp 300.000. Puasa tidak puasa, belanjanya sama. Warteg Adinda memperkerjakan 2 orang, yang terdiri dari 1 orang untuk bagian masak, 1 orang bagian melayani dan nyuci piring, sedangkan yang belanja di pasar bapak pemilik Warteg itu sendiri. Sejak pagi-pagi buta, sekitar pukul 04.00 WIB  Bapak Sanuri sudah berangkat ke pasar untuk belanja sampai pukul 06.00 WIB. Sedangkan Ibu Inahyati dan 2 orang yang membantunya langsung memasak mulai pukul 04.00 – 09.00 WIB.


Makanan yang paling favorit di Warteg Adinda adalah soto betawinya yang terdiri dari soto ayam dan babat. Setiap hari Warteg ini melayani kurang lebih 30 mangkuk soto, yang permangkuk dihargai dengan Rp 8.000.

 Menurut Ibu Inahyati, setiap hari beliau menyediakan lebih dari 30 macam masakan. Sementara Bapak Sanuri mengaku tidak tahu jumlah persis jenis makanan yang beliau sediakan. ”Enggak pernah dihitung. Ayam saja ada empat macam, ayam goreng, ayam opor, ayam kecap, dan ayam pedas. Kalau 20 jenis sih lebih,” ujar Bapak Sanuri.


Semua jenis makanan ini belum termasuk telur asin dan mentimun yang merupakan ciri khas Warteg. Harga yang ditawarkan memang sangat terjangkau. Dengan daftar menu harga sebagai berikut :

Harga Makanan Warteg



  nasi putih : Rp 3.000

  nasi + ayam goreng,semur opor n semur : Rp 8.000

  nasi + segala macem ikan : Rp 7.000

  nasi + segala macem telor : Rp 5.500

  nasi + soto : Rp 11.000

  nasi + tumis2 vegetari : Rp 4.000

  nasi + tumis bukan vegetari : Rp 5000

  sayur n sambel : Rp 1.000 

 


Harga Minuman Warteg



  es tawar : Rp 1.000

  teh manis anget/dingin : Rp 2.500

  jeruk panas/dingin : Rp 3.500

  minuman suplement : Rp 2.000

  minunan bersoda : Rp 5.000

  kopi anget : Rp 2.000

 kopi dingin : Rp 3.000



Tambahan:

o   emping : Rp 1.000

o   kerupuk : Rp 1.000

o   segala macam gorengan : Rp 1.000

o   lalapan : Rp 2.000

o   buah : ada yang 500 sampai 2000


Penghasilan yang diperoleh Bapak Sanuri dan Ibu Inahyati perhari mencapai Rp 600.000, sehingga dalam sebulan penghasilan bersihnya kurang lebih sebesar Rp 5.000.000 sudah dipotong untuk membayar 2 orang pembantunya.


Jadi Warteg salah satu faktor di sektor informal sebagai sektor alternatif bagi para migran cukup memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan. Untuk para pemilik Warteg sedotlah rejeki di JABODETABEK dan pulanglah untuk pembangunan dan peredaran ekonomi, karena sebagian uang Warteg sangat berguna untuk pembangunan. Terimakasih untuk Warteg, Karena Warteg kampung halaman meriah.